mabar.online Wacana pembatasan game online kembali menjadi perhatian publik setelah insiden ledakan di SMAN 72 Jakarta. Banyak pihak menilai, maraknya kecanduan game online perlu mendapat penanganan serius dari pemerintah. Salah satu suara yang menonjol datang dari Anggota Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih, yang menyatakan dukungannya terhadap rencana pembatasan tersebut.
Menurutnya, pembatasan ini bukan semata untuk membatasi kebebasan bermain anak-anak, tetapi demi melindungi mereka dari dampak negatif kecanduan digital. “Kami menyambut baik wacana tersebut, namun pelaksanaannya tidak boleh sebatas administratif. Perlu ada pengawasan bersama dan kolaborasi aktif antara sekolah, orang tua, dan pemerintah,” ujarnya.
Pernyataan itu menggambarkan sikap DPR yang ingin melihat kebijakan pembatasan game online berjalan secara proporsional, menyentuh akar masalah tanpa sekadar menambah aturan di atas kertas.
Game Online dan Dampaknya terhadap Remaja
Game online kini menjadi bagian dari gaya hidup pelajar, terutama di kota besar seperti Jakarta. Akses internet yang mudah membuat anak-anak bisa bermain kapan saja, bahkan di jam belajar. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran karena banyak siswa kehilangan fokus akademik dan mengalami gangguan sosial akibat terlalu sering bermain.
Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan gawai berlebihan dapat memengaruhi kemampuan konsentrasi, pola tidur, dan kesehatan mental remaja. Kasus ekstrem, seperti ledakan di SMAN 72, membuka kembali diskusi publik mengenai sejauh mana pengaruh dunia maya terhadap perilaku siswa.
Faqih menilai, peristiwa itu harus menjadi peringatan bersama. “Kita tidak bisa menutup mata. Pemerintah, sekolah, dan orang tua perlu bergerak bersama membangun sistem pengawasan yang efektif,” tegasnya.
Pengawasan Bukan Sekadar Administratif
Anggota Komisi X itu menekankan bahwa pembatasan game online tidak boleh berhenti pada aturan administratif seperti jam bermain atau batasan usia. Ia menilai, pendekatan semacam itu mudah diterapkan tetapi tidak menjawab akar persoalan.
Menurutnya, yang dibutuhkan adalah pengawasan berbasis nilai edukatif dan komunikasi terbuka antara siswa, guru, dan orang tua.
“Kalau sekadar melarang tanpa mendidik, anak-anak akan mencari jalan lain untuk tetap bermain. Yang penting adalah memberi mereka kesadaran tentang dampaknya,” kata Fikri.
Ia juga mengusulkan agar sekolah menerapkan program pembinaan digital dan literasi media. Tujuannya agar siswa paham cara menggunakan teknologi secara bijak dan produktif.
Literasi Digital Jadi Kunci Pencegahan
Dalam keterangan tertulisnya, Fikri menyoroti pentingnya literasi digital sebagai langkah preventif. Literasi digital bukan hanya kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga memahami risiko di dalamnya. “Kita harus melatih siswa, guru, dan orang tua agar melek digital. Mereka perlu tahu batas antara penggunaan yang sehat dan yang berlebihan,” jelasnya.
Fikri menilai, kebijakan pembatasan game online akan lebih efektif bila disertai program edukatif yang konsisten. Misalnya, pelatihan tentang keamanan digital, manajemen waktu online, dan bahaya cyberbullying. Ia juga mendorong agar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) berkolaborasi dengan sekolah-sekolah dalam penyuluhan digital untuk pelajar.
Selain itu, ia menekankan bahwa sekolah perlu menciptakan kegiatan positif yang bisa menjadi alternatif bagi siswa agar tidak terlalu bergantung pada game. Kegiatan seperti olahraga, seni, dan komunitas literasi bisa mengalihkan perhatian anak-anak dari dunia maya yang adiktif.
Kolaborasi Orang Tua dan Sekolah
Faqih menilai, orang tua memiliki peran vital dalam membimbing anak-anak mereka di rumah. Menurutnya, pengawasan tidak bisa hanya dibebankan kepada sekolah atau pemerintah. Orang tua harus terlibat aktif, mulai dari mengatur waktu bermain anak hingga memberikan pemahaman tentang keseimbangan hidup digital.
Ia juga mendorong sekolah untuk membangun komunikasi rutin dengan wali murid. Melalui forum semacam itu, sekolah dapat memantau perilaku siswa dan memberikan edukasi bagi orang tua agar lebih memahami pola bermain anak-anak mereka. “Jika kolaborasi ini berjalan, kita bisa menciptakan lingkungan digital yang lebih sehat dan terkendali,” ujar Fikri.
Selain orang tua dan sekolah, peran pemerintah daerah juga penting. Dinas pendidikan bisa memperkuat regulasi lokal yang mendukung kampanye penggunaan gawai secara bijak. Bahkan, kolaborasi dengan platform game online dapat dilakukan agar mereka ikut mengatur sistem kontrol usia dan waktu bermain.
Tantangan Implementasi
Mewujudkan pembatasan game online bukan perkara mudah. Tantangan terbesar datang dari dunia digital itu sendiri yang sulit diawasi sepenuhnya. Banyak anak bisa mengakses game menggunakan akun baru atau perangkat lain tanpa terdeteksi.
Karena itu, menurut Fikri, kunci keberhasilan bukan pada larangan keras, tetapi pada perubahan perilaku pengguna. Ia menilai pendekatan edukatif dan pengawasan moral jauh lebih efektif dibanding sanksi teknis.
Pemerintah juga harus memastikan bahwa kebijakan baru tidak menimbulkan dampak negatif terhadap sektor industri game lokal yang sedang berkembang. Menurutnya, pembatasan harus bersifat selektif, membedakan antara game edukatif dan game yang berpotensi merusak perilaku.
Membangun Budaya Digital yang Sehat
Fikri berharap momentum ini bisa menjadi titik balik dalam membangun budaya digital yang lebih sehat di Indonesia. Ia menilai, anak muda harus didorong untuk memanfaatkan teknologi secara produktif, misalnya lewat coding, desain digital, atau e-sport profesional yang dikelola dengan etika dan pengawasan.
“Teknologi tidak bisa dihindari, tapi bisa diarahkan,” tegasnya. Ia menutup pernyataannya dengan ajakan agar semua pihak tidak hanya bereaksi setelah ada insiden, tetapi aktif mencegah munculnya masalah baru melalui edukasi yang menyeluruh.

Cek Juga Artikel Dari Platform beritabumi.web.id
