mabar.online Wacana pembatasan game online yang disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto mendapat sambutan positif dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Anggota Komisi X DPR RI, Dr. H. Abdul Fikri Faqih, menilai kebijakan tersebut perlu ditindaklanjuti secara serius agar tidak hanya menjadi wacana administratif semata.
Menurut Fikri, pembatasan akses game online bukanlah langkah pelarangan mutlak. Tujuannya adalah menciptakan keseimbangan antara hiburan digital dan pendidikan karakter anak-anak. Ia menegaskan bahwa untuk mencapai hal itu, harus ada kolaborasi aktif antara tiga pilar utama yaitu sekolah, orang tua, dan pemerintah.
Kolaborasi ini dinilai penting agar kebijakan tidak hanya berhenti pada tataran aturan, tetapi benar-benar diterapkan dalam keseharian anak-anak. Ia menambahkan, “Pengawasan tidak cukup hanya bersifat administratif, namun juga perlu melibatkan semua pihak dalam menciptakan ekosistem belajar yang aman dan sehat secara digital.”
Latar Belakang dan Dampak Game Online bagi Anak
Perhatian terhadap game online muncul karena semakin banyak anak yang menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar. Game bergenre tembak-tembakan dan kekerasan dinilai berisiko menanamkan persepsi keliru bahwa kekerasan adalah hal yang lumrah. Hal ini dikhawatirkan bisa memengaruhi pola pikir dan perilaku anak-anak di dunia nyata.
Psikolog pendidikan juga mengingatkan bahwa paparan kekerasan digital dapat menurunkan empati dan meningkatkan agresivitas. Anak-anak cenderung lebih mudah terpancing emosi dan sulit mengontrol diri ketika sudah terbiasa dengan konten ekstrem di dunia maya. Karena itu, regulasi pembatasan bukan hanya bentuk perlindungan, tapi juga bagian dari pendidikan karakter di era digital.
Pentingnya Literasi Digital untuk Semua Kalangan
Fikri Faqih menilai bahwa pembatasan saja tidak akan cukup tanpa diiringi literasi digital. Literasi digital menjadi bekal utama agar pelajar, guru, dan orang tua mampu memahami bagaimana menggunakan teknologi dengan benar dan aman.
Ia menegaskan bahwa literasi digital bukan sekadar kemampuan mengoperasikan perangkat, melainkan juga kesadaran etika dan tanggung jawab dalam berinteraksi di dunia maya. Dengan pengetahuan yang baik, anak-anak dapat memilah mana konten positif yang bermanfaat untuk belajar dan mana yang justru merusak pola pikir.
Guru juga perlu dilibatkan dalam proses edukasi digital. Sekolah diharapkan menjadi pusat pembelajaran teknologi yang sehat, di mana siswa tidak hanya diajarkan menggunakan perangkat, tetapi juga memahami konsekuensinya.
Peran Sekolah dalam Pengawasan Internal
Selain mendukung literasi digital, DPR juga mendorong sekolah untuk memperkuat sistem pengawasan internal. Langkah ini diperlukan agar setiap lembaga pendidikan memiliki mekanisme yang jelas dalam menjaga keamanan lingkungan belajar.
Fikri menilai bahwa sekolah harus aktif menciptakan sistem yang bisa mendeteksi potensi perundungan, kekerasan, maupun penyalahgunaan teknologi di lingkungan pendidikan. Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi antar guru untuk membentuk kurikulum lokal yang mendukung pengawasan tersebut.
Kurikulum lokal ini tidak dimaksudkan untuk mengganti kurikulum nasional, melainkan memperkaya muatan pembelajaran agar sesuai dengan kebutuhan dan karakter daerah. Dengan begitu, sekolah bisa menanamkan nilai-nilai tanggung jawab, empati, dan etika digital secara kontekstual kepada siswa.
Keterlibatan Orang Tua dalam Pengawasan Anak
Orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam pengawasan aktivitas digital anak. Fikri menegaskan, kebijakan pemerintah akan sulit berhasil tanpa dukungan pengawasan di rumah. Orang tua perlu memahami apa yang dimainkan anak, dengan siapa mereka berinteraksi secara daring, serta berapa lama waktu yang dihabiskan di depan layar.
Pendekatan yang dilakukan sebaiknya tidak bersifat melarang sepenuhnya, tetapi mengarahkan. Komunikasi terbuka akan membantu anak merasa nyaman untuk bercerita dan belajar bertanggung jawab atas pilihannya di dunia maya. Dengan begitu, keluarga dapat menjadi benteng pertama dalam melindungi anak dari pengaruh negatif teknologi.
Kebutuhan Sistem Pengawasan Digital Terpadu
Selain pengawasan manual dari orang tua dan sekolah, sistem teknologi juga perlu dikembangkan untuk memantau aktivitas digital anak. Pemerintah bisa menggandeng perusahaan telekomunikasi dan penyedia aplikasi untuk membuat sistem kontrol waktu bermain dan batasan usia.
Pengawasan semacam ini bukan hal baru. Banyak negara lain telah menerapkan sistem serupa untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan digital dan keamanan pengguna muda. Indonesia dapat menyesuaikan model tersebut agar sesuai dengan budaya dan kebijakan pendidikan nasional.
Menjadikan Dunia Digital Ruang Aman untuk Anak
Tujuan utama pembatasan game online bukan untuk membatasi kebebasan anak dalam bermain, tetapi untuk memastikan dunia digital tetap menjadi ruang aman bagi pertumbuhan mereka. Teknologi seharusnya dimanfaatkan untuk mendukung pendidikan, kreativitas, dan keterampilan abad ke-21, bukan justru menjerumuskan mereka pada perilaku negatif.
DPR berharap wacana pembatasan ini dapat menjadi momentum besar bagi seluruh pemangku kepentingan untuk bersama-sama membangun budaya digital yang sehat. Sinergi antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat diharapkan mampu menciptakan generasi muda yang cerdas secara digital, tangguh secara mental, dan berkarakter kuat dalam menghadapi tantangan zaman.
Kesimpulan: Kolaborasi untuk Masa Depan Anak Indonesia
Dukungan DPR terhadap rencana pembatasan game online menjadi langkah strategis dalam melindungi anak-anak dari dampak negatif dunia digital. Namun, kebijakan ini hanya akan berhasil bila disertai pendidikan literasi digital, pengawasan sekolah yang kuat, serta keterlibatan aktif keluarga.
Dengan pendekatan kolaboratif, anak-anak Indonesia tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pelaku perubahan yang cerdas, kreatif, dan beretika. Dunia digital dapat menjadi ruang belajar yang aman dan produktif jika semua pihak ikut bertanggung jawab menjaga keseimbangannya.

Cek Juga Artikel Dari Platform faktagosip.web.id
