mabar.online Wacana pembatasan game online bertema kekerasan kembali ramai dibicarakan setelah muncul berbagai kasus yang melibatkan anak dan remaja. Presiden Prabowo Subianto menilai bahwa permainan daring seperti PlayerUnknown’s Battlegrounds (PUBG) perlu dikaji ulang dari sisi dampaknya terhadap perkembangan psikologis. Game dengan unsur kekerasan dinilai dapat memengaruhi cara berpikir serta perilaku sosial generasi muda jika tidak diawasi dengan baik.
Perdebatan seputar game kekerasan sebenarnya bukan hal baru. Banyak pihak berpendapat bahwa game bisa menjadi hiburan dan sarana pelepas stres, sementara yang lain mengkhawatirkan efeknya terhadap emosi dan kepribadian anak. Perbedaan pendapat inilah yang mendorong perlunya kajian ilmiah dan kebijakan publik yang seimbang antara kebebasan bermain dan perlindungan psikologis.
Dampak Emosional dan Perubahan Perilaku Anak
Psikolog perkembangan anak menilai bahwa game seperti PUBG dapat memunculkan efek jangka panjang bila dimainkan tanpa pengawasan. Anak-anak yang terlalu sering terpapar kekerasan visual dalam permainan berisiko mengalami desensitisasi emosional, yaitu kondisi ketika mereka menjadi kurang peka terhadap tindakan kekerasan.
Dalam kondisi ekstrem, mereka bisa menilai kekerasan sebagai hal yang normal dan wajar dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya, muncul kecenderungan perilaku agresif, mudah tersinggung, dan kehilangan empati terhadap sesama. Beberapa studi juga menunjukkan adanya hubungan antara durasi bermain game kekerasan dengan peningkatan stres dan gangguan tidur.
Selain itu, intensitas bermain yang berlebihan dapat memengaruhi pola pikir kompetitif secara berlebihan. Anak-anak bisa terbawa suasana permainan hingga sulit membedakan antara dunia maya dan realitas. Pola komunikasi mereka juga berubah; lebih emosional dan defensif, terutama ketika merasa kalah dalam permainan.
Faktor Keluarga dan Lingkungan yang Berpengaruh
Meski begitu, para ahli menekankan bahwa dampak game tidak hanya ditentukan oleh kontennya, tetapi juga oleh pengawasan dan lingkungan keluarga. Anak yang mendapatkan pendampingan dan bimbingan dari orang tua umumnya memiliki kontrol diri yang lebih baik. Orang tua berperan penting dalam menentukan seberapa lama waktu bermain yang ideal dan jenis game yang boleh diakses anak.
Lingkungan sosial juga memberi pengaruh besar. Bila teman-teman sebaya memiliki pola bermain yang positif dan sehat, anak cenderung meniru hal yang sama. Sebaliknya, jika lingkungan bermainnya bebas tanpa batas, risiko kecanduan dan perilaku impulsif akan meningkat. Oleh karena itu, keseimbangan antara bimbingan keluarga dan lingkungan yang mendukung sangat dibutuhkan.
Perlu Literasi Digital Sejak Dini
Psikolog sepakat bahwa literasi digital menjadi fondasi penting di era teknologi saat ini. Anak-anak tidak bisa dijauhkan sepenuhnya dari dunia digital, tetapi mereka harus diajarkan cara memanfaatkannya dengan bijak. Literasi digital mencakup kemampuan memahami konten, mengelola emosi, serta menjaga interaksi daring agar tetap positif.
Sekolah juga diharapkan ikut berperan melalui kurikulum pendidikan karakter dan teknologi. Guru bisa membantu siswa memahami bagaimana membedakan hiburan digital dan perilaku di dunia nyata. Selain itu, lembaga pendidikan dapat bekerja sama dengan orang tua untuk membuat program pendampingan online yang rutin dan berkelanjutan.
Peran Pemerintah dan Regulasi Pengawasan Game
Pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan ekosistem digital yang aman untuk anak. Kebijakan pembatasan akses terhadap game kekerasan bukan berarti melarang sepenuhnya, tetapi memastikan game yang beredar memiliki sistem rating usia yang tegas. Hal ini juga mencakup kontrol waktu bermain dan fitur keamanan bagi pengguna di bawah umur.
Negara-negara seperti Korea Selatan dan Tiongkok telah menerapkan kebijakan pembatasan waktu bermain untuk anak-anak di bawah usia tertentu. Indonesia bisa mengambil inspirasi dari model serupa dengan menyesuaikan pada budaya dan kebutuhan lokal. Namun, aturan ini tetap perlu diimbangi dengan pendidikan dan sosialisasi agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Pengaruh Psikologis yang Perlu Diwaspadai
Selain potensi kekerasan, game seperti PUBG juga dapat memengaruhi aspek sosial-emosional anak. Ketika pemain terbiasa mengejar kemenangan dan status virtual, mereka bisa mengalami tekanan psikologis saat gagal mencapai target tertentu. Kondisi ini memicu perasaan tidak puas, frustrasi, dan bahkan isolasi sosial.
Beberapa kasus menunjukkan bahwa anak yang kecanduan game sering kali mengalami penurunan prestasi belajar. Waktu istirahat berkurang, perhatian terhadap sekolah menurun, dan hubungan dengan keluarga menjadi renggang. Jika tidak segera ditangani, masalah ini bisa berkembang menjadi gangguan perilaku serius seperti impulsivitas atau kecenderungan melawan aturan.
Pendekatan Kolaboratif untuk Membangun Kesadaran
Para ahli sepakat bahwa pembatasan game online harus disertai pendekatan edukatif. Orang tua, guru, dan pemerintah harus bekerja sama dalam membangun kesadaran anak tentang dampak dunia digital. Edukasi dapat diberikan dalam bentuk pelatihan literasi digital, seminar keluarga, hingga kurikulum sekolah yang mengajarkan keseimbangan antara hiburan dan tanggung jawab.
Pendekatan kolaboratif juga memungkinkan terciptanya sistem pengawasan yang lebih efektif. Pemerintah dapat menggandeng pengembang game untuk memastikan setiap produk memiliki label konten yang jelas dan fitur pengaturan waktu bermain. Dengan kerja sama yang baik, industri game tidak hanya menjadi sumber hiburan, tetapi juga media edukasi yang aman dan mendidik.
Kesimpulan: Bijak dalam Bermain, Sehat dalam Berkembang
Game online seperti PUBG memang memiliki daya tarik kuat, terutama bagi anak-anak dan remaja. Namun, tanpa pendampingan dan pengawasan, dampaknya bisa merugikan perkembangan emosional dan sosial mereka. Pembatasan dari pemerintah harus diimbangi dengan edukasi dari orang tua serta bimbingan di sekolah agar anak tumbuh dengan keseimbangan digital yang sehat.
Dunia game seharusnya menjadi ruang belajar dan kreativitas, bukan tempat menanamkan perilaku kekerasan. Dengan literasi digital, empati, dan komunikasi yang baik, anak-anak dapat tumbuh menjadi generasi cerdas yang mampu memanfaatkan teknologi untuk hal positif tanpa kehilangan jati diri dan karakter.

Cek Juga Artikel Dari Platform beritagram.web.id
